Profil Singkat Syafruddin Prawiranegara, Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan Yang Terlupakan

12 April 2024, 15:23 WIB
Syafruddin Prawiranegara /

KlikBondowoso - Setelah Indonesia merdeka, kondisi negara tidak serta merta menjadi stabil dan kondusif. Para pahlawan, masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih, tetes keringat dan darah mereka korbankan untuk membela kelangsungan NKRI.

Pada kesempatan penulis akan membahas salah satu tokoh pejuang NKRI, dia adalah Syafruddin Prawiranegara. Syafruddin Prawiranegara adalah salah seorang pejuang Republik Indonesia yang banyak memberikan kontribusi untuk bangsa.

Sayangnya, tidak begitu banyak disinggung sejarah kepahlawanannya untuk Republik Indonesia. Ia merupakan tokoh yang banyak ikut andil dalam perjuangan mempertahankan Republik Indonesia yang beberapa di antaranya dilakukan melalui pemikirannya.

Dari sekian perjuangannya, salah satu yang paling berjasa dan mendapat mandat penting adalah ketika Syafruddin menjadi Ketua/Pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Syafruddin Prawiranegara merupakan salah seorang tokoh pejuang Indonesia yang lahir pada tanggal 28 Februari tahun 1911. Ia merupakan seorang priyayi Banten yang masih memiliki darah keturunan dari Sultan Banten. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara dari hasil pernikahan Raden Arsyad Prawiraatmaja dan Nur’aini.

Raden Arsyad masih merupakan keturunan Sultan Banten sehingga tidak diragukan lagi kebangsawanannya di Banten. Anak pertama dari hasil pernikahan ini adalah seorang perempuan bernama Siti Maria. Raden Arsyad dan Nur’aini merupakan pasangan sederajat karena Nur’aini juga berasal dari kalangan strata atas dari Minangkabau.

Ayah Syafruddin, Raden Arsyad, mulai diangkat sebagai pegawai pangreh praja ketika usianya baru sekitar 19 tahun, yaitu pada tahun 1907. Kemudian dengan cepat ia diangkat jabatannya menjadi asisten wedana atau camat dan ditempatkan di Anyar Kidul, yang masih termasuk dalam Kawedanan Anyar, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten. Bisa dibilang kenaikan jabatannya yang begitu cepat itu disebabkan oleh kedudukan keluarganya.

Ia adalah anak dari Raden Haji Chatab Aria Prawiranegara atau yang lebih dikenal sebgai Patih Haji karena pernah menjadi Patih Kabupaten Serang (1879-1884). Arsyad merupakan anak pertama dari istri kedua Patih Haji, Nyi Mas Hajjah Salbiyah. Patih Haji meninggal tahun 1899. Arsyad merupakan orang yang berpendidikan tinggi.

Hal ini juga merupakan salah satu sebab mengapa dirinya dapat menduduki posisi camat. Namun tak lama kemudian, Raden Arsyad turun dari jabatannya menjadi mantri kabupaten di Serang; jabatan ini merupakan jabatan satu tingkat di bawah asisten wedana atau camat. Ia turun dari jabatannya karena berkonflik dengan seorang Kontrolir.

Sejak saat itu konduitenya sebagai priyayi selalu mendapat sorotan dari pemerintah kolonial dan kenaikan pangkatnya menjadi terhambat. Dari surat keputusan yang membuatnya turun jabatan itu, Raden Arsyad dipindahkan ke Serang, wilayah ini lebih ramai daripada di Anyer Kidul. Di wilayah Serang, Raden Arsyad mulai mengikuti budaya yang ada di situ, seperti Tayuban.

Tayuban adalah semacam tarian pasangan-pasangan laki-laki dengan wanita dengan iringan gamelan. Raden Arsyad harus selalu ikut serta ketika acara seperti Tayuban itu diadakan karena para priyayi-priyayi atasannya yang harus dipatuhi kebiasaan-kebiasaan hidupnya itu suka dengan Tayuban ini.

Akan tetapi, Nur’aini, sebagai seorang istri, sangatlah tidak menyukai kebiasaan tersebut yang sampai mengakibatkan suaminya itu sering pulang dalam keadaan mabuk. Nur’aini pun meminta untuk bercerai. Nur’aini meminta cerai melalui kantor urusan agama (rapa’), sehingga pada akhirnya mereka bercerai saat Syafruddin berusia satu tahun.

Kendati demikian, Siti Maria dan Syafruddin pun tetap diasuh oleh Raden Arsyad yang kemudian menikah lagi dengan Ratu Suwela (Epoh), putri bangsawan Banten asli, Tubagus Anglingkusumah dan Ratu Suwelaningrat. Syafruddin dan kakaknya masih terlalu kecil untuk mengetahui perceraian dan pernikahan kembali itu. Mereka baru mengetahui yang sebenarnya ketika Syafruddin berusia tujuh tahun, yakni ketika Syafruddin tertimpa kecelakaan jatuh dari sebuah pohon dan Nur’aini dengan cemasnya datang menemui Syafruddin di rumah uanya Syafruddin, Haji Fatimah, di Serang. Ketika itu, ayahnya telah diangkat kembali sebagai Camat Anyer Kidul, Muncang, Banten Selatan, Kabupaten Lebak. Syafruddin dan kakaknya pun menyadari bahwa mereka memiliki dua orang ibu yang sangat menyayangi mereka. Syafruddin memiliki tiga adik, yakni Remi, Bey Sandimaya, dan Drajat Demokrat.

Namun Remi meninggal ketika dia masih kecil. Kemudian ibu Epoh juga meninggal dunia karena wabah flu yang amat berat. Hal ini terjadi ketika Syafruddin beranjak  dewasa. Namun, Syafruddin tetap merasa memiliki seorang ibu, yakni ibu kandungnya sendiri. Sepeninggal Ibu Epoh, Raden Arsyad pun merasa membutuhkan seorang ibu baru bagi anak-anaknya untuk mengasuh dan mendidik mereka.

Maka terpilihlah Zubaedah (yang biasa dipanggil Tutah), salah seorang kemenakan ibu Epoh, yang dipilih oleh mertua Raden Arsyad sendiri (ibunya ibu Epoh). Umur Zubaedah sekitar 15 tahun lebih muda daripada Raden Arsyad. Namun ia telah ikhlas menerima Raden Arsyad sebagai suaminya.

Dari ibu Zubaedah, Syafruddin memperoleh tiga orang adik lagi, yakni Kartini, Abdurrachman Prawirakusumah, dan Mohammad Basar. Dengan demikian Raden Arsyad memiliki tiga orang isteri dan delapan orang anak dan Syafruddin adalah anak laki-laki yang paling tua. Syafruddin sudah belajar Al Qur’an sejak kecil setelah dikhitan.

Meskipun ia tidak mengerti isinya karena ia tidak diajari bahasa Arab dan tidak diberi terjemahannya. Ia sudah mulai berpuasa dari umur empat atau lima tahun. Ketika tiba usianya untuk bersekolah, oleh ayahnya dia dimasukkan ke ELS (Europeesche Lagere School) dan tidak ke pesantren.

Di sekolah itu ia harus menggunakan bahasa Belanda karena bahasa itulah yang menjadi bahasa pengantar di sekolah itu. Pada tahun 1924, ia pindah ke Ngawi mengikuti ayahnya yang kemudian segera dimasukkan ke ELS juga. Namun tidak lama, hanya beberapa bulan saja, karena ia sudah kelas tujuh.

Setelah tamat dari ELS, awalnya Syafruddin akan melanjutkan ke HBS (Hoogere Burger School), tetapi tidak jadi karena tempatnya yang jauh, yakni hanya di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, selain itu biayanya juga mahal. Karena itu, ayahnya memilih untuk memasukkan Syafruddin ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun. Setelah tamat dari MULO, ia melanjutkan pelajarannya ke AMS (Algemeene Middlebare School) Bagian A di Bandung karena ia memiliki minat besar dalam bidang kesusastraan dan gemarnya dalam membaca buku.

Setelah tamat dari AMS pada tahun 1931,  ia melanjutkan ke RHS (Rechts Hoge School: Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Awalnya Syafruddin ingin melanjutkan ke perguruan tinggi sastra. Namun karena tempatnya itu ada di negeri Belanda dan ia tidak mungkin pergi ke sana, maka Syafruddin tidak jadi memilih perguruan tersebut.

Ditambah lagi dengan kondisi keuangan keluarganya yang sedang terperosok. Akhirnya Syafruddin harus merasa puas dengan masuk di RHS. Raden Arsyad meninggal pada bulan Maret tahun 1939 dengan tiba-tiba ketika sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al Qur’an.

Setelah mendengar berita duka itu, Syafruddin pun langsung berangkat menggunakan kereta api, meskipun tidak dapat melihat jenazah ayahnya. Syafruddin datang terlambat dua jam. Jenazah ayahnya dibawa dari Kediri ke Blitar dan dimakamkan di sana.

Sepeninggal ayahnya, kehidupan ekonomi Syafruddin dan keluarganya makin merosot. Gaji pensiunan dari ibu tirinya, Teh Tutah, hanya separo dari gaji ayahnya dulu. Akhirnya ia sesegera mungkin menyelesaikan skripsinya agar kemudian dapat melamar perkerjaan untuk membantu keluarganya termasuk membiayai sekolah adik-adiknya.

Ia akhirnya lulus sebagai Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada bulan September tahun 1939, enam bulan setelah ayahnya meninggal. Setamatnya dari RHS, Syafruddin melamar pekerjaan ke Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) dan diterima.

Di PPRK ia menempati jabatan sebagai administrator PPRK yang merangkap sebagai redaktur Soeara Timoer (majalah PPRK). Namun pekerjaan ini hanya beberapa bulan saja. Karena tak lama kemudian, Syafruddin beserta tiga kawannya yang sama-sama dari RHS diterima di Departement van Financien (Departemen Keuangan).

Syafruddin ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak di Kediri, Jawa Timur. Dengan jabatan yang cukup tinggi dan umur yang matang, yakni hampir tiga puluh tahun, Syafruddin pun merasa bahwa sudah saatnya ia berumah tangga.

Ia pun berencana untuk meminang Tengku Halimah, salah seorang gadis anak dari Ibu Sabaruddin yang mana masih memiliki tali persaudaraan dengan Ibu Nur’aini. Pernikahan mereka pun berlangsung di Buahbatu, Bandung pada tanggal 31 Januari 1941.

Kemudian resepsinya diselenggarakan pada tanggal 9 September 1941. Pada tanggal 9 Juni 1942, lahirlah anak pertama Syafruddin atas pernikahannya itu. Anak itu adalah anak perempuan yang diberi nama Aisyah.

Kemudian diikuti dengan lahirnya ketujuh adik Aisyah. Mereka adalah Salvyah (perempuan, lahir di Bandung tanggal 26 Juli 1943), Chalid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 26 Maret 1946), Farid (laki-laki, lahir di Yogyakarta tanggal 6 Maret 1948), Chalidah (perempuan, lahir di Jakarta tanggal 6 Mei 1951), Faridah (perempuan, lahir di Jakarta tanggal 10 November 1952), Rasyid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 2 April 1954), dan Yazid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 27 Agustus 1955).***

Editor: Sholahudin Al Ghazali

Terkini

Terpopuler