Ternyata Bukan Jendral Soeharto Inilah Sosok Presiden Ke-2 Indonesia Yang Terlupakan, Benarkah?

- 12 April 2024, 16:01 WIB
Syafruddin Prawiranegara Pemimpin PDRI
Syafruddin Prawiranegara Pemimpin PDRI /

KlikBondowoso - Peran Syafruddin dalam Memperjuangkan NKRI Sebagai salah seorang pahlawan penting dalam sejarah kepahlawanan Indonesia, Syafruddin tentu banyak berperan dalam hal kaitannya dengan pertahanan Republik Indonesia.

1.Bandung Lautan Api

Syafruddin ikut berperan ketika terjadi genjatan senjata antara Inggris dengan Bandung pada 1946. Ia bersama Mayor Jenderal Didi Kartasasmita menemui para pejuang (TRI) di Bandung  untuk menyampaikan kebijaksanaan pemerintah pusat bahwa agar pasukan TRI meninggalkan kota Bandung seluruhnya.

2.Oeang Repoeblik Indonesia

Karena sibuknya pertempuran antara tentara Sekutu dengan para pemuda Indonesia pada 10 November 1946, maka pembuatan mata uang Republik Indonesia menjadi tertunda. Syafruddin sebagai pegawai Kementerian Keuangan dan terutama sebagai salah seorang pencetus gagasan tentang pencetakan uang Republik Indonesia itu, turut serta dalam usaha-usaha pelaksanaan dalam pencetakan tersebut.

3.Memimpin Pemerintah Darurat Indonesia

Situasi Jawa pada tahun 1948 yang sudah diduduki Belanda di banyak tempat, bahkan hampir menyeluruh, membuat Sumatera, terutama Aceh, direncanakan untuk  dijadikan sebagai pusat kedudukan pemerintahan. Ditambah dengan posisi Aceh yang terletak di ujung barat wilayah Republik Indonesia sehingga melalui radio mudah berhubungan dengan luar negeri, terutama India.

Pada pertengahan November 1948, Moh. Hatta beserta beberapa anggota pembesar militer dan sipil, termasuk Syafruddin, berangkat ke Bukittinggi untuk melerai persengketaan antara Mayor Bejo dengan Mayor Malau di Tapanuli yang dapat selesai dalam lima hari saja. Kemudian mereka kembali ke Jawa, Yogyakarta, untuk melakukan perundingan lagi dengan Belanda, kecuali Syafruddin beserta pembantu-pembantunya.

Mereka ditugaskan untuk mengatur keuangan di Provinsi Sumatera sembari menunggu kembalinya Moh. Hatta. Serangan Belanda di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 membuat Presiden dan Wakil Presiden membuat kawat kepada Syafruddin dan A.A. Maramis.

Isi kawat yang ditujukan untuk Syafruddin adalah agar ia membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera, dan isi kawat yang ditujukan untuk A.A. Maramis adalah apabila Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil maka ia dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi.

4.Pembentukan Provinsi Aceh

Setelah kembali dari perundingannya dengan Belanda melalui pernyataan Roem-van Royen, Moh. Hatta melakukan penyegaran kabinet. Syafruddin Prawiranegara menduduki jabatan sebagai Wakil Perdana Menteri untuk Sumatera yang tempat kedudukannya ditetapkan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Ia membentuk Provinsi Aceh yang kemudian ditentang oleh uleebalang.

5.Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

Dalam hal ini, Syafruddin berusaha menyadarkan Soekarno agar lepas dari tangan-tanagn komunis. Menurut Syafruddin, situasi Indonesia semakin memburuk karena sikap Soekarno yang selalu ingin menumpuk kekuasaannya di tangannya sendiri dengan bantuan orang-orang komunis dan tanpa disadari sewaktu-waktu orang komunis akan menyingkirkannya juga.

6.Himpunan Usahawan Muslim Indonesia (Husami)

Syafruddin merupakan ketua umum husami. Husami di sini memiliki  peran sebagai usahawan swasta yang berdasarkan Islam dan yang aktif serta tidak menggantungkan diri kepada fasilitas pemerintah seperti kebanyakan usahawan swasta di zaman Orde Lama.

 

Pemerintah Darurat Republik Indonesia Kantor PDRI Perundingan antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Belanda tentang pelaksanaan Persetujuan Renville pada Juni 1948 mendapati jalan buntu.

Selain itu, terdapat tanda-tanda bahwa Belanda akan melakukan aksi militer lagi yang ujungnya akan menduduki Yogyakarta, di mana Yogyakarta kala itu menjadi ibukota negara Republik Indonesia.

Untuk menghadapi situasi tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan untuk mengambil siasat. Di pertemuan ini mereka membicarakan tentang langkah-langkah yang akan diambil jika Belanda benar-benar melakukan aksi militer lagi dan berhasil menduduki Yogyakarta.

Termasuk membahas tentang kemungkinan Sumatra dijadikan sebagai pusat kedudukan pemerintahan semasa perang berlangsung. Pulau Sumatera yang wilayahnya jauh lebih luas daripada Jawa menjadi salah satu daerah yang ideal bagi aktivitas gerilya. Selain itu, Pulau Sumatera terutama Aceh, terletak di ujung barat wilayah Republik Indonesia sehingga melalui radio dapat mudah berhubungan dengan luar negeri.

Dari rencana kabinet, Moh. Hatta beserta pembesar sipil dan militer akan pergi ke Sumatera dan akan membentuk Pemerintah Darurat jika Pulau Jawa sudah diduduki oleh Belanda seluruhnya. Atas permintaan Teuku Moh. Hasan, pada November 1948, Moh. Hatta beserta beberapa anggota pembesar militer dan sipil, termasuk Syafruddin, berangkat ke Bukittinggi untuk melerai persengketaan antara Mayor Bejo dengan Mayor Malau di Tapanuli.

Di sana mereka juga mempersiapkan Sumatera sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia. Dalam lima hari perselisihan tersebut selesai dan kemudian Moh. Hatta kembali ke Yogyakarta. Namun sebelum Moh. Hatta terbang ke Yogyakarta, ia mengangkat Letnan Kolonel Kawilarang menjadi Panglima daerah Sumatera, Kolonel Hidayat menjadi Panglima seluruh Sumatera, dan Menteri Kemakmuran Syafruddin beserta pembantu-pembantunya untuk sementara di Bukittinggi mengatur keuangan di Provinsi Sumatera. Moh. Hatta pergi untuk melakukan perudingan lagi dengan Belnada.

Perundingan yang dilaksanakan pada 30 Novemebr 1948 tersebut gagal. Hal ini disebabkan oleh sikap Dr. Sassen, Menteri Seberang Lautan Belanda, yang menyatakan bahwa agar TNI djadikan sebagai pengawal keamanan saja, bukan sebagai tentara nasional Republik Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian pada 19 Desember 1948, tepatnya pada pukul 05.30, Yogyakarta dengan tiba-tiba diserang oleh pasukan Belanda. Dalam situasi seperti ini pun Moh. Hatta masih sempat mengadakan persidangan kabinet di Kepresidenan yang membahas tentang sikap dan tidakan yang akan diambil oleh pemerintahan Indonesia.

Sidang Kabinet tersebut menghasilkan keputusan, yang salah satunya, adalah Presiden  dan Wakil Presiden mengirimkan pesan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

Apabila ikhtiar Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat tidak berhasil, maka Mr. A. A. Maramis dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Setelah itu, pada 18 Desember, pasukan Belanda melancarkan aksi militernya di daerah Sumatera, terutama Bukittinggi.

Tujuan dari aksi ini adalah untuk merebut kota Bukittinggi secepat mungkin, karena kota tersebut merupakan tempat kedudukan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera (Mr. Teuku Moh. Hasan), Residen Sumatera Tengah (Mr. S. M. Rasyid), dan Panglima Sumatera (Kolonel Hidayat). Namun pada tanggal 22 Desember 1948, pasukan Belanda berhasil masuk dan menguasai kota Bukittinggi.

Tujuan utama dari serangan serentak ini (Yogyakarta dan Bukittinggi) adalah untuk menyingkirkan Republik pemimpin Soekarno-Hatta dari peta bumi Indonesia. Penyerangan Belanda di Bukittinggi membuat kota ini tidak dapat dipertahankan. Maka Syafruddin mengambil keputusan utuk Teuku Moh. Hasan bersama pejabat tinggi lainnya, kecuali Residen S. M. Rasyid, agar menyingkir ke luar kota menghindari penangkapan Belanda. Mereka kemudian menuju ke sebuah perkebunan teh bernama Halaban.

Halaban terletak di pegunungan sehingga diperkirakan akan sulit dicapai oleh Belanda. Tak lama kemudian Residen S. M. Rasyid datang dari Bukittinggi untuk melaporkan keadaan Bukittinggi dan Sumatera Tengah dalam sebuah perundingan. Setelah mendengar laporan dari Residen S. M. Rasyid, maka pembicaraan dipusatkan pada pembentukan Presiden Darurat yang sudah dikemukakan oleh Syafruddin di Bukittinggi.

Kesepakatan pembentukan Pemerintah Darurat Republk Indonesia semata-mata berdasakan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap perjuangan bangsa agar jangan sampai terjadi kekosongan dalam pemerintahan.

Atas kesepakatan bersama, maka ditentukanlah bahwa PDRI dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua. Ia merangkap sebagai presiden dan perdana menteri (wakil presiden). Untuk mengadapi Belanda di Sumatera, maka dibentuklah gubernur-gubernur dan komisaris-komisaris di Sumatera.

Susunan PDRI pun berangsur-angsur dilengkapi dan jika perlu dilakukan perubahan-perubahan.  Mr. A. A. Maramis yang sedang berada di New Delhi pun diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Eksistensi PDRI diakui dan keputusan-keputusannya dipatuhi oleh para pemimpiin dan rakyat Indonesia.

Belanda mengira bahwa dengan menangkap Soekarno dan para pembesar Indonesia itu sudah melenyapkan Republik Indonesia. Namun mereka salah karena adanya pembentukan PDRI yang menjalankan fungsinya sebagai pemerintah Republik Indonesia yang bersifat mobile.

Pada bulan Januari 1949, para pemimpin PDRI meninggalkan Halaban dan pergi ke Bidar Alam untuk kemudian Bidar Alam sebagai tempat kedudukan pimpinan pusat PDRI. Karena tempatnya yang terpencil maka akan lebih sulit Belanda menemukan mereka di sana.

Pada bulan dan tahun itu juga, ada sebuah konferensi negara-negara Asia di New Delhi yang dihadiri oleh 19 negara yang mendesak agar Belanda menarik kembali pasukannya dari daerah Keresidenan Yogyakarta. Pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang kabinet yang dipimpin oleh Moh. Hatta di Yogyakarta. Dalam sidang itu Syarifuddin selaku Ketua PDRI menyerahkan kembali mandat kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno.

Sidang ini sekaligus mengakhiri secara formal masa hidup Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Dengan demikian PDRI berdiri selama enam bulan dua belas hari saja namun mempunyai makna yang besar dalam menentukan jalannya perjuangan bangsa dan negara Republik Indonesia.***

Editor: Sholahudin Al Ghazali


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah