Profil Singkat Syafruddin Prawiranegara, Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan Yang Terlupakan

- 12 April 2024, 15:23 WIB
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara /

Sejak saat itu konduitenya sebagai priyayi selalu mendapat sorotan dari pemerintah kolonial dan kenaikan pangkatnya menjadi terhambat. Dari surat keputusan yang membuatnya turun jabatan itu, Raden Arsyad dipindahkan ke Serang, wilayah ini lebih ramai daripada di Anyer Kidul. Di wilayah Serang, Raden Arsyad mulai mengikuti budaya yang ada di situ, seperti Tayuban.

Tayuban adalah semacam tarian pasangan-pasangan laki-laki dengan wanita dengan iringan gamelan. Raden Arsyad harus selalu ikut serta ketika acara seperti Tayuban itu diadakan karena para priyayi-priyayi atasannya yang harus dipatuhi kebiasaan-kebiasaan hidupnya itu suka dengan Tayuban ini.

Akan tetapi, Nur’aini, sebagai seorang istri, sangatlah tidak menyukai kebiasaan tersebut yang sampai mengakibatkan suaminya itu sering pulang dalam keadaan mabuk. Nur’aini pun meminta untuk bercerai. Nur’aini meminta cerai melalui kantor urusan agama (rapa’), sehingga pada akhirnya mereka bercerai saat Syafruddin berusia satu tahun.

Kendati demikian, Siti Maria dan Syafruddin pun tetap diasuh oleh Raden Arsyad yang kemudian menikah lagi dengan Ratu Suwela (Epoh), putri bangsawan Banten asli, Tubagus Anglingkusumah dan Ratu Suwelaningrat. Syafruddin dan kakaknya masih terlalu kecil untuk mengetahui perceraian dan pernikahan kembali itu. Mereka baru mengetahui yang sebenarnya ketika Syafruddin berusia tujuh tahun, yakni ketika Syafruddin tertimpa kecelakaan jatuh dari sebuah pohon dan Nur’aini dengan cemasnya datang menemui Syafruddin di rumah uanya Syafruddin, Haji Fatimah, di Serang. Ketika itu, ayahnya telah diangkat kembali sebagai Camat Anyer Kidul, Muncang, Banten Selatan, Kabupaten Lebak. Syafruddin dan kakaknya pun menyadari bahwa mereka memiliki dua orang ibu yang sangat menyayangi mereka. Syafruddin memiliki tiga adik, yakni Remi, Bey Sandimaya, dan Drajat Demokrat.

Namun Remi meninggal ketika dia masih kecil. Kemudian ibu Epoh juga meninggal dunia karena wabah flu yang amat berat. Hal ini terjadi ketika Syafruddin beranjak  dewasa. Namun, Syafruddin tetap merasa memiliki seorang ibu, yakni ibu kandungnya sendiri. Sepeninggal Ibu Epoh, Raden Arsyad pun merasa membutuhkan seorang ibu baru bagi anak-anaknya untuk mengasuh dan mendidik mereka.

Maka terpilihlah Zubaedah (yang biasa dipanggil Tutah), salah seorang kemenakan ibu Epoh, yang dipilih oleh mertua Raden Arsyad sendiri (ibunya ibu Epoh). Umur Zubaedah sekitar 15 tahun lebih muda daripada Raden Arsyad. Namun ia telah ikhlas menerima Raden Arsyad sebagai suaminya.

Dari ibu Zubaedah, Syafruddin memperoleh tiga orang adik lagi, yakni Kartini, Abdurrachman Prawirakusumah, dan Mohammad Basar. Dengan demikian Raden Arsyad memiliki tiga orang isteri dan delapan orang anak dan Syafruddin adalah anak laki-laki yang paling tua. Syafruddin sudah belajar Al Qur’an sejak kecil setelah dikhitan.

Meskipun ia tidak mengerti isinya karena ia tidak diajari bahasa Arab dan tidak diberi terjemahannya. Ia sudah mulai berpuasa dari umur empat atau lima tahun. Ketika tiba usianya untuk bersekolah, oleh ayahnya dia dimasukkan ke ELS (Europeesche Lagere School) dan tidak ke pesantren.

Di sekolah itu ia harus menggunakan bahasa Belanda karena bahasa itulah yang menjadi bahasa pengantar di sekolah itu. Pada tahun 1924, ia pindah ke Ngawi mengikuti ayahnya yang kemudian segera dimasukkan ke ELS juga. Namun tidak lama, hanya beberapa bulan saja, karena ia sudah kelas tujuh.

Setelah tamat dari ELS, awalnya Syafruddin akan melanjutkan ke HBS (Hoogere Burger School), tetapi tidak jadi karena tempatnya yang jauh, yakni hanya di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, selain itu biayanya juga mahal. Karena itu, ayahnya memilih untuk memasukkan Syafruddin ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun. Setelah tamat dari MULO, ia melanjutkan pelajarannya ke AMS (Algemeene Middlebare School) Bagian A di Bandung karena ia memiliki minat besar dalam bidang kesusastraan dan gemarnya dalam membaca buku.

Halaman:

Editor: Sholahudin Al Ghazali


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah