Profil Singkat Syafruddin Prawiranegara, Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan Yang Terlupakan

- 12 April 2024, 15:23 WIB
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara /

Setelah tamat dari AMS pada tahun 1931,  ia melanjutkan ke RHS (Rechts Hoge School: Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Awalnya Syafruddin ingin melanjutkan ke perguruan tinggi sastra. Namun karena tempatnya itu ada di negeri Belanda dan ia tidak mungkin pergi ke sana, maka Syafruddin tidak jadi memilih perguruan tersebut.

Ditambah lagi dengan kondisi keuangan keluarganya yang sedang terperosok. Akhirnya Syafruddin harus merasa puas dengan masuk di RHS. Raden Arsyad meninggal pada bulan Maret tahun 1939 dengan tiba-tiba ketika sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al Qur’an.

Setelah mendengar berita duka itu, Syafruddin pun langsung berangkat menggunakan kereta api, meskipun tidak dapat melihat jenazah ayahnya. Syafruddin datang terlambat dua jam. Jenazah ayahnya dibawa dari Kediri ke Blitar dan dimakamkan di sana.

Sepeninggal ayahnya, kehidupan ekonomi Syafruddin dan keluarganya makin merosot. Gaji pensiunan dari ibu tirinya, Teh Tutah, hanya separo dari gaji ayahnya dulu. Akhirnya ia sesegera mungkin menyelesaikan skripsinya agar kemudian dapat melamar perkerjaan untuk membantu keluarganya termasuk membiayai sekolah adik-adiknya.

Ia akhirnya lulus sebagai Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada bulan September tahun 1939, enam bulan setelah ayahnya meninggal. Setamatnya dari RHS, Syafruddin melamar pekerjaan ke Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) dan diterima.

Di PPRK ia menempati jabatan sebagai administrator PPRK yang merangkap sebagai redaktur Soeara Timoer (majalah PPRK). Namun pekerjaan ini hanya beberapa bulan saja. Karena tak lama kemudian, Syafruddin beserta tiga kawannya yang sama-sama dari RHS diterima di Departement van Financien (Departemen Keuangan).

Syafruddin ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak di Kediri, Jawa Timur. Dengan jabatan yang cukup tinggi dan umur yang matang, yakni hampir tiga puluh tahun, Syafruddin pun merasa bahwa sudah saatnya ia berumah tangga.

Ia pun berencana untuk meminang Tengku Halimah, salah seorang gadis anak dari Ibu Sabaruddin yang mana masih memiliki tali persaudaraan dengan Ibu Nur’aini. Pernikahan mereka pun berlangsung di Buahbatu, Bandung pada tanggal 31 Januari 1941.

Kemudian resepsinya diselenggarakan pada tanggal 9 September 1941. Pada tanggal 9 Juni 1942, lahirlah anak pertama Syafruddin atas pernikahannya itu. Anak itu adalah anak perempuan yang diberi nama Aisyah.

Kemudian diikuti dengan lahirnya ketujuh adik Aisyah. Mereka adalah Salvyah (perempuan, lahir di Bandung tanggal 26 Juli 1943), Chalid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 26 Maret 1946), Farid (laki-laki, lahir di Yogyakarta tanggal 6 Maret 1948), Chalidah (perempuan, lahir di Jakarta tanggal 6 Mei 1951), Faridah (perempuan, lahir di Jakarta tanggal 10 November 1952), Rasyid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 2 April 1954), dan Yazid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 27 Agustus 1955).***

Halaman:

Editor: Sholahudin Al Ghazali


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah