Mengenal Sejarah Sistem Ahwa Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama

- 22 Desember 2021, 10:10 WIB
Ilustrasi logo NU. Mengenal Ahwa Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama.
Ilustrasi logo NU. Mengenal Ahwa Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama. /nu.or.id

Pembahasan metode ini sudah dilakukan sejak tahun 2012. Wacana untuk menggunakan metode ini karena kekhawatiran akan adanya politik praktis serta ditunggangi pihak eksternal di tubuh NU apabila menggunakan mekanisme pemilihan langsung.

Pada tahun 2013 akhirnya Rais ‘Aam PBNU K.H. M. A. Sahal Mahfudh menginstruksikan untuk menggodok payung hukum metode ini untuk memilih seluruh jajaran pimpinan dalam tubuh NU.

Instruksi tersebut kemudian dirumuskan dalam naskah akademis pada Munas dan Konferensi Besar pada tahun 2014.

Salah satu poin dari rumusan itu yakni sistem Ahlul Halli Wal Aqdi dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi penerapannya dilaksanakan dengan cara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan di masa depan.

Dimulai dengan pemilihan/penetapan Rais ‘Aam dan rais-rais syuriah di semua tingkatan. Sedangkan untuk Ketua Umum dan ketua-ketua tanfidziah masih dengan pemilihan langsung.

PBNU kemudian menggelar serangkaian Musyawarah Alim Ulama ke-3 pada tanggal 14-15 Juni 2015. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Jakarta tersebut disepakati bersama sebagai berikut:

Baca Juga: Kenali Tanda Usus Kita Kotor dan Solusinya ala Dr. Zaidul Akbar

1. Rais ‘Aam adalah jabatan ‘shohibul maqom’, tidak boleh ditempati kecuali oleh orang yang memang telah mencapai maqom yang sesuai. Di dalam maqom itu terkandung kriteria: faqiih (memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu syari’at) dan mutawarri’ (terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis).

Hal itu karena Nahdlatul Ulama bukan sekedar organisasi biasa, tapi merupakan ‘qiyaadah diiniyyah’, yaitu acuan keagamaan bagi warganya. Maka Rais ‘Aam sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dari tuntunan dan bimbingan keagamaan yang diberikan oleh Nahdlatul Ulama kepada warganya haruslah seorang yang sungguh-sungguh menguasai seluk-beluk ajaran keagamaan yang menjadi haluan Nahdlatul Ulama, terutama dalam bidang syari’at.

2. Kriteria Rais ‘Aam tersebut diatas menyangkut hal-hal yang tidak mudah ditandai dan diukur dengan kaca mata orang kebanyakan. Sistem Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ini dengan sendirinya akan menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU karena pemegang wewenangnya adalah para ulama yang paling matang secara keilmuan dan maqom rohaninya, yang tak dapat digoda dengan bujukan-bujukan duniawi.

Halaman:

Editor: Sholikhul Huda

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah