Konsekuensi Seseorang yang Melanggar Iddah, Nilkahnya Bisa Batal

- 26 September 2021, 15:36 WIB
Iddah adalah waktu menunggu. Berikut penjelasan terkait pelanggaran Iddah.
Iddah adalah waktu menunggu. Berikut penjelasan terkait pelanggaran Iddah. /h3.com

KlikBondowoso.Com - Masa Iddah muncul ketika seorang perempuan mengakhiri masa kawinnya.

Baik karena suaminya meninggal maupun karena diceraikan suaminya. Masa iddah seorang perempuan adalah 4 bulan 10 hari.

Bagi masa iddah perempuan yang haid adalah 3 kali datang bulan.

Iddah sendiri adalah waktu menunggu. Dimana seorang perempuan menunggu untuk tidak menikah atau kawin lagi, setelah mengakhiri masa pernikahannya.

Lantas bagaimana ketika ada yang melanggar? Dikutip KlikBondowoso.Com dari Kanwil Kemenag Kalimantan Selatan (Kalsel), berikut penjelasan H. Saubari, M.Pd.I (Kepala KUA Kecamatan Kertak).

Satu lagi fakta yang cukup merisaukan, banyaknya calon mempelai yang mendaftar nikah ketika masa iddah belum berakhir. Diskusi Bulanan Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Kabupaten Banjar, Senin (30/11/2020) mengangkat fenomena keganjilan ini, dimana hampir semua Penghulu se Kabupaten Banjar mengaku pernah menerima pendaftar nikah seperti ini.

Artinya, jenis pelanggaran dimasa iddah bukan lagi kasuistis tetapi telah meluas dan mencerminkan rendahnya pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang hukum munakahat.

Fenomena ini menjadi sangat penting dicermati mengingat wanita yang mendaftar nikah ketika masa iddahnya belum berakhir, dapat dipastikan telah melanggar syari’at Islam tentang larangan dipinang dan atau menerima pinangan.

Baca Juga: Khutbah Jumat Tema Wanita Shalihah dan Suami Takwa

Baca Juga: Pengertian Masa Iddah dan Cara Penghitungannya Menurut Fiqih Islam

Membatalkan Nikah.

Pelanggaran jenis ini terbilang serius. Konsekuensinya dapat membatalkan keabsahan nikah mengingat ketentuan masa iddah menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan seorang janda. Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa iddah tidak sah, sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1)
“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Artinya, pernikahan yang dilangsungkan dalam masa iddah, bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 40 huruf (b) yang melarang perkawinan wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.

Ali Yusuf As Subki dalam Fiqih Keluarga menyatakan bahwa salah satu sebab wanita diharamkan sementara menikah adalah karena ia masih berada dalam masa iddah dari laki-laki lain. Pernikahan yang dilangsungkan di masa iddah termasuk fasid atau pernikahan yang rusak dan dihukumkan tidak sah harus dipisah terlebih dahulu dan baru boleh dinikahkan kembali setelah si wanita menyelesaikan masa iddahnya.

Ketentuan masa iddah tidak mengenal toleransi, pengurangan hitungan (rukhsah) atau keadaan darurat karena ia adalah ketetapan Allah “perempuan-perempuan yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali suci” (Surah Albaqarah : 228) dan “orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (maka hendaklah para istri-istri itu) ber’iddah empat bulan sepuluh hari”. (Al Baqarah : 234). Apabila wanita itu menjanda pada saat hamil, “maka waktu iddah mereka sampai melahirkan kandungannya”. (At Thalaq ; 4).

iddah secara kebahasaan berasal dari kata ‘addat’ artinya bilangan, yaitu masa ketika seorang istri yang telah dicerai atau yang suaminya meninggal dunia, menghitung hari-hari dan masa sucinya. Secara istilah, masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang janda untuk tidak melangsungkan pernikahan dengan bilangan waktu yang bereda-beda, sesuai sebab kejandaannya.

Iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliyyah dan termasuk yang dilestarikan Islam karena baik dan bermanfaat.

Para ulama sepakat iddah itu wajib berdasarkan Al Quran dan Hadits. Bila dikelompokkan, setidaknya ada empat macam ; pertama, iddah wanita yang masih mengalami haid selama tiga kali suci” (Surah Albaqarah : 228), kedua iddah janda yang monopouse, tidak haid lagi atau haidnya tidak normal adalah tiga bulan (QS. At Talak ; 4), ketiga, iddah janda mati suami selama empat bulan sepuluh hari (QS. Al Baqarah ; 234) dan keempat iddah wanita hamil sampai ia melahirkan (QS. At Talak : 4).

Norma iddah ini diatur dalam PP 9/1975 pasal 39 ayat (1) huruf (a) (b) dan (c), yang pada dasarnya membagi tiga kelompok. Pertama, iddah karena perceraian selama 90 hari ; kedua, iddah karena kematian selama 130 hari ; dan ketiga, iddah wanita hamil sampai bayinya lahir. Sedang wanita yang dicerai sebelum dicampuri tidak ada masa iddah dan suami tidak boleh ruju’ (kembali) kecuali dengan akad nikah baru (PP 9/75 pasal 39 ayat (2).

Baca Juga: Cara Rontokkan Lemak dengan Minuman Herbal

Ketidaktahuan / Ketidakpatuhan ?

Islam memandang iddah sebagai pranata penting dalam upaya mengembalikan keutuhan perkawinan. Masa iddah sejatinya break time untuk merenung, introspeksi dan memikirkan secara mendalam apakah lebih banyak maslahatnya bila dilanjutkan atau lebih baik diakhiri, juga untuk memastikan bersihnya rahim wanita agar tidak bercampur dan demi memelihara hubungan baik diantara kedua keluarga besar.

Wanita dalam masa iddah talak raj’i (talak pertama dan kedua), diharamkan dipinang dan menerima pinangan, baik secara terang terangan ataupun sindiran karena talak raj’i tidak memutus hubungan suami istri seketika. Sejatinya dia masih istri sah suaminya yang sewaktu-waktu dapat menyatakan kembali kepadanya dalam masa iddahnya.

Ikatan perkawinan mereka barulah benar-benar putus setelah masa iddah berakhir. Hal yang sama juga berlaku bagi wanita yang menjanda karena menggugat cerai atau karena talak tebus (khulu’) atau karena dicerai sebelum dicampuri.

Hal ini karena masih adanya kesempatan bersatu lagi dengan cara melakukan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru juga. Pinangan secara tertutup (rahasia) hanya dibolehkan kepada wanita yang ditalak tiga atau yang suaminya meninggal dunia.

Hal ini demi menghindari permusuhan dari keluarga suami yang meninggal dunia kepada si peminang dan yang dipinang.

Dr. Iberahim Al-Jamal dalam bukunya Fiqih Wanita menyatakan, wanita yang sedang menunggu habisnya masa iddah raj’iah, wajib tetap tingal di rumah suaminya sampai habis masa iddahnya.

Ia tidak diperkenankan keluar dan suaminya pun tidak boleh mengusirnya.
Firman Allah “Tempatkanlah mereka dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. At Talak : 6).

Konteks ayat ini memberi pemahaman bahwa ketentuan beriddah dengan keharusan tetap tinggal di rumah suami adalah media untuk rujuk. Itulah makanya, wanita yang ditalak raj’iah, haram dipinang laki-laki lain dalam masa iddahnya.

Orang-orang tua kita sejak zaman dulu telah mengajarkan adab yang ketat tentang larangan di masa iddah, yang terbentuk dari pengetahuan dan pengamalan agama yang kuat, yaitu konsep pamali dilakukan para wanita yang masih ber’iddah.

Diantaranya, pamali bapupur babengkeng (merias diri) keluar rumah untuk memikat lelaki, pamali keluyuran pada malam hari tanpa ditemani mahram dan tentu saja pamali dipinang dan menerima pinangan.

Kesadaran hukum yang kuat yang mengkristal ini sejalan dengan KHI pasal 12 ayat (1) dan (2) “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalama masa iddah raj’iah haram dan dilarang untuk dipinang.”

Sulit memahami fakta wanita yang mendaftar nikah katika iddah talak raj’iahnya belum berakhir. Fenomena yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Mungkinkah dia mendaftar nikah sebelum dipinang?.

Haramnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah selain bertolak dari haramnya meminang mereka, juga ketetapan Allah dalam Surah Al Baqarah 235 “dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya,” yang diadopsi KHI pasal 40 ayat (2) ”Dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain”.

Penetapan ini menggunakan metode qiyas aulawi dengan logika hukum ; kalau meminang saja tidak boleh, apalagi menikah.

Terhadap pendaftar nikah seperti ini KUA tentu menolak. Bila diterima, sama artinya membenarkan pelanggaran hukum agama. Tapi, apakah dengan menolak, itu lantas menyelesaikan permasalahan?. Tidak. Tetap harus ada upaya serius membenahi akar penyebabnya ; ketidaktahuan atau ketidakpatuhan.

Biasanya pendaftar nikah berdalih sudah lama dicerai tidak resmi. Tetapi KUA berpegang pada akta cerai sebagai bukti otentik seorang janda. Ketika dia melampirkan akta cerai, tentu perhitungan masa iddahnya berpatokan pada akta cerai tersebut.

Tentu tak elok bila ini hanya dibebankan kepada penghulu atau KUA. Ini seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak ; para da’i, penyuluh agama, guru-guru agama dan juga ormas keagamaan yang jarang membahas bab nikah dalam pengajian yang mereka sampaikan.

Bila karena ketidakpatuhan, tentu lebih tepat disikapi dengan ‘ketegasan menolak’ disertai menasehati, dengan alasan melanggar hukum Allah dan bertentangan dengan UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), juga KHI pasal 12 ayat (1) dan (2) dan Pasal 40 ayat (2).

Wanita yang mendaftar nikah dalam masa iddah, apalagi perceraianya atas dasar gugatan, kemungkinan karena dia telah menjalin hubungan gelap dengan laki-laki lain. Gugatan cerainya, bisa jadi karena ingin dikawini laki-laki lain itu. Inilah yang disebut Baginda Nabi takhbib ; suatu keadaan rusaknya hati seorang istri terhadap suaminya (ingin bercerai) karena tergoda laki-laki lain.

Juga hadits yang diriwayatkan Abu Daud “bukan bagian dariku, seseorang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya”. Dan, berdasar hadits riwayat An Nasa’I, Nabi mencap para wanita yang menuntut cerai tanpa alasan yang jelas (apalagi karena motif ingin menikah dengan laki-laki itu) sebagai wanita munafiq. Na’udzubillahi min dzaalik.***

Editor: Sholikhul Huda

Sumber: Kemenag


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah