MINAN JAUHARI : REAKTUALISASI JIHAD SANTRI MELALUI MEDAN VIRTUAL, MEDIA SIBER SEBAGAI MEDAN JIHAD BARU

- 22 Oktober 2022, 19:24 WIB
Minan Jauhari.
Minan Jauhari. /

KEMBALI, Hari Santri diperingati setiap tanggal 22 oktober, sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Hari Santri ini konon didasarkan pada peristiwa tentang seruan Resolusi Jihad yang diprakarsai oleh Ulama dan Pahlawan Nasional seperti Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) pada 22 Oktober 1945.

Dalam seruan Resolusi Jihad ini terdapat kewajiban bagi seluruh umat Islam yang berada pada jarak 94 kilometer dari medan pertempuran, untuk mengikuti perang, terutama bagi para santri bersama masyarakat melawan kolonialisme Belanda dan Sekutu yang datang lagi ke Indonesia melalui Agresi Militer I.

Seruan Jihad dalam peristiwa ini dianggap sebagai salah satu cikal bakal yang membuat Indonesia bisa berdaulat dan merdeka sepenuhnya, serta diakui secara internasional. Selanjutnya untuk memastikan kelangsungan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka sepenuhnya, maka sepirit jihat semacam ini menjadi penting dan harus dikobarkan dalam rangka agar dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan merdeka sepenuhnya.

Hingga kini, jihad santri tetap dinanti, khususnya jihad yang yang perlukan dalam medan perjuangan baru yaitu ruang-ruang virtual. Mengingat, perkembangan masyarakat hari ini lebih banyak ditandai dengan lahirnya tatanan baru yang lahir dari perkembangan teknologi informasi sehingga menciptakan lingkungan baru dalam ruang virtual. Spirit jihad yang pernah digelorakan pada peristiwa resolusi jihad saat mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan harus terus terjaga, karena jihad tidah hanya dilakukan dengan cara melawan kolonialisme seperti yang pernah terjadi pada masa perjuangan tempo dulu.

Ketersediaan ruang kebebasan dalam ruang media siber, juga menjadi deretan sebab bermunculan persoalan-persoalan kehidupan masyarakat kita, seperti munculnya fenomena kejahatan  online, cacian, hinaan, nyinyir, bahkan berkembangnya ideology tertentu yang dapat memberikan ancaman terhadap ideology kebangsaan Indonesia juga mewarnai dalam tatanan lingkungan baru ini. Inilah medan perjuangan baru yang dapat dijadikan sebagai pilihan bagi santri untuk terus berjuang dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sekadara ilustrasi, bagaimana sengkarut kepentingan ideologi keagamaan tertentu, terekspresikan secara bebas dalam ruang-ruang media siber, padahal keberadaan paham ini dinilai dapat bertentangan dengan arah ideologi kebangsaan indonesia. Keadaan ini tentu dapat menjadikan masyarakat harus terfragmentasi dalam kelompok keagamaan yang saling berseberangan secara terbuka dalam ruang siber. Meskipun dengan munculnya media siber (Cyber Media) sesungguhnya dapat berfungsi sebagai public sphere, ruang diskrusif, dan sebagai saluran bertemunya wacana sehingga dapat tercipta interaksi antar komunitas keagamaan.

Perselisihan Masih Mewarnai Ruang Virtual

Media virtual, tidak sekadar dipahami sebagai medium dan saluran komunikasi, tetapi juga sebagai ruang baru bagi masyarakat dalam menyampaikan gagasan maupun dalam menampilkan ekspresi paham keagamaan tertentu. Bisa dilihat bagaimana tampilan pesan-pesan khilafah yang terus dikampanyekan melalui media-media komunitas tertentu. Meski komunitas itu mengklaim sebagai bagian dari aktifitas dakwah Islam, namun pesan yang ditampilkan memicu terhadap munculnya perselisihan yang berkepanjangan diantara masyarakat. Apalagi pemahaman ini diyakini sebagai ajaran Islam yang harus dilaksanakan demi terlaksananya syariat Islam secara kaffah, maka perkembangan narasi semacam ini akan menuai respon keras dari komunitas lain, karena dinilai dapat bertentangan dengan ideology kebangsaan Indonesia.

Bisa disadari bahwa pola keberagamaan dan spiritualitas memang nampak mengalami perubahan, dengan terciptanya lingkungan baru ini, sehingga mampu mengubah berbagai tatanan kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan, persoalan keberagamaan yang ditimbulkan melalui aktivisme keagamaan yang ditampilkan melalui ruang virtual ini, tentu juga tidak bisa terbebaskan dari pengaruh kepentingan ideology maupun kepentingan citra (image) dan pencitraan (imagology) tertentu. Garry R. Bunt (2003) pernah memberikan pemahaman bahwa fenomena keagamaan dalam perkembangannya banyak dihadirkan dalam ruang-ruang digital/media internet, namun, lebih menghadapkan pada realitas yang paradoks, yaitu antara ortodoksi Islam dengan realitas era digital yang heterodoks.

Halaman:

Editor: Sholikhul Huda


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah