Ternyata Bukan Jendral Soeharto Inilah Sosok Presiden Ke-2 Indonesia Yang Terlupakan, Benarkah?

- 12 April 2024, 16:01 WIB
Syafruddin Prawiranegara Pemimpin PDRI
Syafruddin Prawiranegara Pemimpin PDRI /

Untuk menghadapi situasi tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan untuk mengambil siasat. Di pertemuan ini mereka membicarakan tentang langkah-langkah yang akan diambil jika Belanda benar-benar melakukan aksi militer lagi dan berhasil menduduki Yogyakarta.

Termasuk membahas tentang kemungkinan Sumatra dijadikan sebagai pusat kedudukan pemerintahan semasa perang berlangsung. Pulau Sumatera yang wilayahnya jauh lebih luas daripada Jawa menjadi salah satu daerah yang ideal bagi aktivitas gerilya. Selain itu, Pulau Sumatera terutama Aceh, terletak di ujung barat wilayah Republik Indonesia sehingga melalui radio dapat mudah berhubungan dengan luar negeri.

Dari rencana kabinet, Moh. Hatta beserta pembesar sipil dan militer akan pergi ke Sumatera dan akan membentuk Pemerintah Darurat jika Pulau Jawa sudah diduduki oleh Belanda seluruhnya. Atas permintaan Teuku Moh. Hasan, pada November 1948, Moh. Hatta beserta beberapa anggota pembesar militer dan sipil, termasuk Syafruddin, berangkat ke Bukittinggi untuk melerai persengketaan antara Mayor Bejo dengan Mayor Malau di Tapanuli.

Di sana mereka juga mempersiapkan Sumatera sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia. Dalam lima hari perselisihan tersebut selesai dan kemudian Moh. Hatta kembali ke Yogyakarta. Namun sebelum Moh. Hatta terbang ke Yogyakarta, ia mengangkat Letnan Kolonel Kawilarang menjadi Panglima daerah Sumatera, Kolonel Hidayat menjadi Panglima seluruh Sumatera, dan Menteri Kemakmuran Syafruddin beserta pembantu-pembantunya untuk sementara di Bukittinggi mengatur keuangan di Provinsi Sumatera. Moh. Hatta pergi untuk melakukan perudingan lagi dengan Belnada.

Perundingan yang dilaksanakan pada 30 Novemebr 1948 tersebut gagal. Hal ini disebabkan oleh sikap Dr. Sassen, Menteri Seberang Lautan Belanda, yang menyatakan bahwa agar TNI djadikan sebagai pengawal keamanan saja, bukan sebagai tentara nasional Republik Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian pada 19 Desember 1948, tepatnya pada pukul 05.30, Yogyakarta dengan tiba-tiba diserang oleh pasukan Belanda. Dalam situasi seperti ini pun Moh. Hatta masih sempat mengadakan persidangan kabinet di Kepresidenan yang membahas tentang sikap dan tidakan yang akan diambil oleh pemerintahan Indonesia.

Sidang Kabinet tersebut menghasilkan keputusan, yang salah satunya, adalah Presiden  dan Wakil Presiden mengirimkan pesan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

Apabila ikhtiar Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat tidak berhasil, maka Mr. A. A. Maramis dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Setelah itu, pada 18 Desember, pasukan Belanda melancarkan aksi militernya di daerah Sumatera, terutama Bukittinggi.

Tujuan dari aksi ini adalah untuk merebut kota Bukittinggi secepat mungkin, karena kota tersebut merupakan tempat kedudukan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera (Mr. Teuku Moh. Hasan), Residen Sumatera Tengah (Mr. S. M. Rasyid), dan Panglima Sumatera (Kolonel Hidayat). Namun pada tanggal 22 Desember 1948, pasukan Belanda berhasil masuk dan menguasai kota Bukittinggi.

Tujuan utama dari serangan serentak ini (Yogyakarta dan Bukittinggi) adalah untuk menyingkirkan Republik pemimpin Soekarno-Hatta dari peta bumi Indonesia. Penyerangan Belanda di Bukittinggi membuat kota ini tidak dapat dipertahankan. Maka Syafruddin mengambil keputusan utuk Teuku Moh. Hasan bersama pejabat tinggi lainnya, kecuali Residen S. M. Rasyid, agar menyingkir ke luar kota menghindari penangkapan Belanda. Mereka kemudian menuju ke sebuah perkebunan teh bernama Halaban.

Halaban terletak di pegunungan sehingga diperkirakan akan sulit dicapai oleh Belanda. Tak lama kemudian Residen S. M. Rasyid datang dari Bukittinggi untuk melaporkan keadaan Bukittinggi dan Sumatera Tengah dalam sebuah perundingan. Setelah mendengar laporan dari Residen S. M. Rasyid, maka pembicaraan dipusatkan pada pembentukan Presiden Darurat yang sudah dikemukakan oleh Syafruddin di Bukittinggi.

Halaman:

Editor: Sholahudin Al Ghazali


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah