Konsekuensi Seseorang yang Melanggar Iddah, Nilkahnya Bisa Batal

- 26 September 2021, 15:36 WIB
Iddah adalah waktu menunggu. Berikut penjelasan terkait pelanggaran Iddah.
Iddah adalah waktu menunggu. Berikut penjelasan terkait pelanggaran Iddah. /h3.com

Diantaranya, pamali bapupur babengkeng (merias diri) keluar rumah untuk memikat lelaki, pamali keluyuran pada malam hari tanpa ditemani mahram dan tentu saja pamali dipinang dan menerima pinangan.

Kesadaran hukum yang kuat yang mengkristal ini sejalan dengan KHI pasal 12 ayat (1) dan (2) “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalama masa iddah raj’iah haram dan dilarang untuk dipinang.”

Sulit memahami fakta wanita yang mendaftar nikah katika iddah talak raj’iahnya belum berakhir. Fenomena yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Mungkinkah dia mendaftar nikah sebelum dipinang?.

Haramnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah selain bertolak dari haramnya meminang mereka, juga ketetapan Allah dalam Surah Al Baqarah 235 “dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya,” yang diadopsi KHI pasal 40 ayat (2) ”Dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain”.

Penetapan ini menggunakan metode qiyas aulawi dengan logika hukum ; kalau meminang saja tidak boleh, apalagi menikah.

Terhadap pendaftar nikah seperti ini KUA tentu menolak. Bila diterima, sama artinya membenarkan pelanggaran hukum agama. Tapi, apakah dengan menolak, itu lantas menyelesaikan permasalahan?. Tidak. Tetap harus ada upaya serius membenahi akar penyebabnya ; ketidaktahuan atau ketidakpatuhan.

Biasanya pendaftar nikah berdalih sudah lama dicerai tidak resmi. Tetapi KUA berpegang pada akta cerai sebagai bukti otentik seorang janda. Ketika dia melampirkan akta cerai, tentu perhitungan masa iddahnya berpatokan pada akta cerai tersebut.

Tentu tak elok bila ini hanya dibebankan kepada penghulu atau KUA. Ini seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak ; para da’i, penyuluh agama, guru-guru agama dan juga ormas keagamaan yang jarang membahas bab nikah dalam pengajian yang mereka sampaikan.

Bila karena ketidakpatuhan, tentu lebih tepat disikapi dengan ‘ketegasan menolak’ disertai menasehati, dengan alasan melanggar hukum Allah dan bertentangan dengan UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), juga KHI pasal 12 ayat (1) dan (2) dan Pasal 40 ayat (2).

Wanita yang mendaftar nikah dalam masa iddah, apalagi perceraianya atas dasar gugatan, kemungkinan karena dia telah menjalin hubungan gelap dengan laki-laki lain. Gugatan cerainya, bisa jadi karena ingin dikawini laki-laki lain itu. Inilah yang disebut Baginda Nabi takhbib ; suatu keadaan rusaknya hati seorang istri terhadap suaminya (ingin bercerai) karena tergoda laki-laki lain.

Halaman:

Editor: Sholikhul Huda

Sumber: Kemenag


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah